MENGGAGAS TAFSIR KOLEKTIF TEMATIS
  • 4 Januari 2021
  • 688x Dilihat
  • Artikel

MENGGAGAS TAFSIR KOLEKTIF TEMATIS

MENGGAGAS TAFSIR KOLEKTIF TEMATIS

Oleh

Drs. H. Kgs. M. Daud, M.HI

( Widyaiswara  Utama  Balai Diklat Keagamaan Palembang )

 

ABSTRAK

 

Menafsirkan Al-Qur’an ayat demi ayat sesuai dengan susunannya dalam mushaf. Segala segi yang dianggap perlu oleh sang muffasir diuraikan bermula dari arti kosa kata asbab, al nuzul, munasabah, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks dan kandungan ayat. Metode ini dikenal dengan metode tablily atau tajzi’iy dalam istilah Baqir Shadr  yang membedakan karya-karya modern dengan klasik, para mufasir modern tidak lagi terjebak pada penafsiran-penafsiran teoritis, tetapi lebih bersifat praktis. Harapan terwujudnya tafsir tematis kolektif. Tafsir tematis diharapkan lahir konsep-konsep Al-Qur’an menyangkut berbagai permasalahan actual. Seorang mufassir tematis berusaha untuk berangkat dari Al – Qur’an dalam memberikan solusi bgi persoalan-persoalan yang timbul di tengah masyarakat.

 

  • PENDAHULUAN

Tafsir tematik ditengarai sebagai metode alternatif yang paling sesuai dengan kebutuhan umat saat ini. Selain diharapakan dapat memberi jawaban atas pelbagai problematika umat, metode tematik dipandang sebagai yang paling obyektif. Sebab melalui metode ini seolah penafsir mempersilahkan Alquran berbicara sendiri menyangkut berbagai permasalahan. Istanthiq alqur'an (ajaklah Alquran berbicara), demikian ungkapan yang sering dikumandangkan para pendukung metode ini. Dalam metode ini, penafsir yang hidup di tengah realita kehidupan dengan sejumlah pengalaman manusia duduk bersimpuh di hadapan Alquran untuk berdialog; mengaiukan persoalan dan berusaha menemukan jawabannya dari Alquran.

Dikatakan obyektif karena sesuai maknanya, kata al-mawdhu' berarti sesuatu yang ditetapkan di sebuah tempat, dan tidak ke mana-mana. Seorang mufassir mawdhu'iy ketika menjelaskan pesan-pesan Alquran terikat dengan makna dan permasalahan tertentu yang terkait, dengan menetapkan setiap ayat pada tempatnya. Kendati kata al-mawdhu' dan derivasinya sering digunakan untuk beberapa hal negatif seperti hadis palsu (hadis mawdhu), atau tawadhu' yang asalnya bermakna al-tadzallul (terhinakan), tetapi dari 24 kali pengulangan kata ini dan derivasinya kita temukan juga digunakan untuk hal-hal positif seperti peletakan ka'bah (Q.,s. al Imra'n ; 96), timbangan/ al-Mizan (Q.,.s. Al-Rahman ; 7) dan benda-benda surga (Q.,.s AlGha'syiyah ; 13 dan 14). Dengan demikian tidak ada hambatan psikologis untuk menggunakan istilah ini (al-Tafsir al-Mawdhu'iyy) seperti dikhawatirkan oleh dclosen penulis di Universitas Al-Azhar, Prof. Dr. Abdul Sattar Fathullah.

Metode ini lahir untuk melengkapi kekurangan yang terdapat pada khazanah tafsir klasik yang didominasi oleh pendekatan tahlilly, yaitu menafsirkan Alquran ayat demi ayat sesuai dengan susunannya dalam mushaf. Segala segi yang 'dianggap perlu' oleh sang mufasir diuraikan, bermula dari arti kosa kata, asbab al-Nuzul, munasabah, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks dan kandungan ayat. Metode ini dikenal dengan metode tahlily atau tajzi'iy dalam istilah Baqir Shadr. Para mufasir klasik umumnya menggunakan metode ini. Kritik yang sering ditujukan pada metode ini adalah karena dianggap menghasilkan pandangan-pandangan parsial. Bahkan tidak jarang ayat-ayat Alquran digunakan sebagai dalih pembenaran pendapat mufasir. Selain itu terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan umat karena terlampau teoritis.

 

DOWNLOAD ARTIKELNYA DISINI