Filosofi Haji
  • BDK Palembang
  • 24 Juni 2022
  • 1850x Dilihat
  • Khutbah

Filosofi Haji

Oleh:

Dr. H. Syarif Husain, S.Ag. M.Si

 

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَلَّا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ محمداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَخَلِيْلُهُ، وَأَمِيْنُهُ عَلَى وَحْيِهِ، أَرْسَلَهُ اللهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ، فَبَلَّغَ الرِسَالَةَ، وَأَدَّى الْأَمَانَةَ، وَنَصَحَ الْأُمَّةَ، وَجَاهَدَ فِي اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ، فَصَلَوَاتُ اللهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَأَسْأَلُ اللهَ – تَعَالَى – بِمَنِّهِ وَكَرَمِهِ أَنْ يَجْعَلَنَا مِمَّنِ اتَّبَعُوْهُمْ بِإِحْسَانٍ، إِنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٍ.

 

       Hadirin jama’ah Jum’at rahimakumullah, 

       Pada kesempatan yang sangat baik ini saya mengajak kepada hadirin sekalian untuk selalu bersyukur kepada Allah Swt. yang telah melimpahkan nikmat dan karunia-Nya kepada kita, hingga kita masih mampu memenuhi panggilan Allah melaksanakan ibadah shalat jum’at. Tidak lupa khatib berwasiat kepada diri sendiri dan kepada hadirin sekalian untuk senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. dengan mengerjakan segala perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, dan kita berharap semoga kita menjadi pribadi-pribadi yang mu’minin dan muhsinin.

       Kaum muslimin rahimakumullah,

       Tahun ini sudah ada beberapa kelompok terbang jama’ah calon haji dari Indonesia diberangkatkan ke Tanah Suci. Kita bersyukur kepada Allah, karena sudah dua tahun pemerintah kita tidak memberangkatkan jama’ah haji, sehubungan dengan mewabahnya virus corona covid-19. Walaupun pemerintah kita baru bisa memberangkatkan sebanyak 50 persen dari jamaah calon haji yang akan berangkat tahun ini, kita patut bersyukur, karena menjadi bukti bahwa keadaan kita sekarang semakin baik dan kondusif dalam melaksanakan ibadah haji.  

       Sebagaimana dimaklumi oleh kita semua, bahwa ibadah haji memiliki aturan dan hukum-hukum tersendiri yang harus diperhatikan oleh setiap jama’ah haji. Begitu juga pelaksanaan manasik haji harus sesuai dengan tuntunan dan tuntutan syari’at, tidak boleh keluar dari contoh-contoh yang telah diterapkan oleh Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. bersabda

 خُذُوا عَنِّى مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّى لاَ أَدْرِى لَعَلِّى أَنْ لاَ أَحُجَّ بَعْدَ حَجَّتِى هَذِهِ

       Ambillah dariku manasik-manasik kalian, karena sesungguhnya aku tidak mengetahui, mungkin saja aku tidak berhaji setelah hajiku ini. (HR. Muslim).

       Dari sabda Rasulullah Saw. tersebut kita dapat mengambil suatu hikmah dan pembelajaran, bahwa haji itu suatu ibadah fisik dan harus dilakukan pada tempat-tempat tertentu, sehingga benar-benar harus mengikuti petunjuk Rasulullah Saw. Bahkan ibadah haji itu merupakan suatu ibadah yang dikolaborasi dan dielaborasikan dengan peristiwa-peristiwa bersejarah pada masa lalu, terutama pada saat nabi Ibrahim As. dengan isteri dan anaknya Ismail As. Pada saat meninggikan pondasi Ka’bah untuk dijadikan sebagai sentra ibadah kaum muslimin di seluruh dunia.

       Kaum muslimin rahimakumullah,

       Demi kesempurnaan haji bagi sebagian saudara-saudara kita yang akan berangkat musim ini, dan untuk menambah wawasan bagi kita kaum muslimin, disamping kita harus memenuhi standar pelaksanaan ibadah haji melalui pendalaman materi-materi tentang perhajian, juga harus lebih memaknai filosofi dari ibadah haji itu sendiri. Gunanya adalah untuk lebih pokus dan lebih memaknai bahwa ritual ibadah haji itu sangat sarat dengan pelbagai hikmah dan pelajaran dari perjalanan hidup manusia di alam dunia yang fana ini dengan mengi’tibari dari perjalanan hidup tiga tokoh besar perhajian, yakni nabiyullah Ibrahim As, putranya Ismail As, dan isteri beliau Hajar Ra.

       Untuk memaknai filosofi haji tersebut, maka perlu ditekankan pemahaman kepada jama’ah haji dan umumnya kita kaum muslimin bahwa ibadah haji adalah salah satu rukun Islam bagi yang mampu baik secara finansial, mental dan fisiknya. Pelaksanaan ritual ibadah haji semata-mata harus dan mutlak hanya karena Allah. Apabila kita perhatikan dan kita renungkan setiap gerak dan langkah pelaksanaan ibadah haji terdapat makna filosofi untuk kita jadikan pelajaran yang sangat berharga dan dapat kita realisasikan dalam kehidupan nyata dialam dunia ini.

       Adapun untuk mengambil makna filosofi haji dapat kita arenungkan bahwa saat kita meninggalkan kampung halaman, mengarungi samudera kehidupan yang luas, meninggalkan keluarga, sanak saudara dan handai taulan, meninggalkan tanah air adalah dengan tujuan semata karena memenuhi panggilan Allah Swt. Kita tanggalkan segala perasaan rindu terhadap keluarga dan kampung halaman masing-masing, lalu kita fokuskan hati, perasaan dan jiwa kita kepada Allah Swt. Filosofinya adalah hendaknya kita fokuskan diri pada Sang Khalik dalam setiap gerak dan langkah.

       Pada saat di Tanah Suci, kita berbusana ihram yang serba putih bersih, semuanya hanya karena Allah semata. Mungkin saja diantara kita ada  yang bertanya, kenapa mesti harus berpakaian ihram yang berwarna putih? Maka tentu jawabannya adalah sebagai tanda kesucian, dan juga bukan hanya putih pakaiannya akan tetapi putih pula hati dan jiwa, bersih perasaan dan nalurinya seputih kain ihram yang ia lekatkan di badannya.

       Seluruh manusia yang datang dari pelbagai penjuru dunia dengan berbagai macam corak dan warna, baik warna kulit sampai beraneka ragamnya ras, bangsa dan golongannya, bahkan adat istiadat yang mereka bawa ke Tanah Suci pun sangat beraneka ragam. Mereka saling bertemu di suatu tempat yang sama, mereka tanggalkan ideologi dan politiknya serta berbagai corak yang membarengi kehidupannya. Disana mereka dilatih dan dibimbing untuk untuk saling mengenal satu sama lain. Ibadah haji telah mempersatukan umat Islam di seluruh dunia, mereka dipersatukan dengan akidah yang sama, mereka mengikrarkan tauhid yang sama hanya untuk menyembah tuhan yang sama yakni Allah Rabbul Alamin, Tuhan penguasa dan pemelihara alam semesta. Mereka menghadap kepada kiblat yang sama yakni Baitullah Ka’bah Al-Musyarafah. Mereka semua dipersepsikan dengan satu kalimat yang indah:

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ 

       Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Sungguh, segala puji, nikmat, dan segala kekuasaan adalah milik-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu.

       Hadirin kaum muslimin rahimakumullah,

       Secara naluri syaithaniyah manusia senang dan demam dengan permusuhan dan hobbi mempunyai lawan secara personal, dan manusia itu apabila memiliki musuh bersama barulah mereka bersatu, dan apabila musuh tidak ada lagi maka mereka mencari musuh dari kalangan sendiri. Demikian pernah diungkapkan oleh Muhammad Natsir. Maka dengan filosofi haji, diajarkan untuk kembali kepada semangat persaudaraan atau lebih populis dengan sebutan ukhuwah Islamiyah. Sehingga tidak ada lagi dendam personal, tidak ada lagi dendam politik, tidak ada lagi kesenjangan si kaya dan si miskin, seorang raja atau kepala negara, antara yang pandai dengan orang bodoh. Semua berbaur menjadi satu umat yang yang mampu mensinergikan antara kebutuhan duniawi dan ukhrawi.

       Kaum muslimin rahimakumullah,

       Manakala musim haji tiba, kaum muslimin diharamkan untuk saling menumpahkan darah, bahkan jangankan darah untuk ditumpahkan, hati dan perasaan kaum muslimin pun harus dijaga, jangan dilukai dengan kata-kata kotor dan perlakuan kasar, dan bahkan lebih dalam lagi jangan ada keburukan yang tersembunyi dalam hatinya kepada seseorang saudaranya, mereka bersatu di tempat yang suci, mereka menjadi tamu Allah dan oleh karenanya mereka wajib dihormati dan dimuliakan.

       Pergrakan jamaah haji yang datang dari segala penjuru dunia menjadi muktamar akbar, seminar tanpa batas ruang dan waktu, ibadah haji menjadi tonggak dan sentral kekuatan umat Islam dalam menggalang persatuan, dan kesatuan sebagai refleksi jiwa dari sebuah ritual agama tahunan.

       Kemudian, makna filosiofi dari ritual melempar jumrah adalah merupakan simbol pernyataan permusuhan dengan setan yang senantiasa menggoda dan menjerumuskan manusia dari jalan kebenaran. Setan yang berniat untuk mencari kawan sebanyak-banyaknya untuk menemaninya di dalam barak neraka. Maka mereka (setan) terus mempropokasi manusia untuk melakukan hasad, iri dan dan dengki diantara sesama manusia. Maka dengan ritual jumrah mereka menyatakan kembali permusuhannya dengan setan yang telah menjadi musuh nyata bagi manusia. Jangan sampai kita tergoda oleh bujuk rayu setan yang sangat menginginkan manusia tergelincir, berkubang dalam lumpur dosa.

       Kaum muslimin rahimakumullah,

       Bahkan di dalam ritual mencium hajar aswad pun, sekalipun tidak diwajibkan apalagi menjadi rukun haji. Tetap memiliki makna filosofi untuk kita realisasikan dalam kehidupan ini, mengapa? Karena apabila jamaah haji mencium hajar aswad, itu merupakan bukti cerminan dari sebuah ketauhidan, dan statusnya adalah ittiba’ kepada perbuatan Rasulullah Saw. Pada saat mencium hajar aswad harus diniati bahwa ia mencontoh Rasulullah Saw. dan Rasulullah pun pada saat menciumnya membayangkan pada saat Ibrahim mencari batu untuk menjadi pelengkap dan pemanis pojok Ka’bah sebelah Timur Laut, lalu batu itu pun didatangkan dari surga lalu dipasangkan oleh Ibrahim As. dan anaknya Islamil As.

       Di dalam hadits disebutkan, bahwa hajar aswad itu di datangkan dari Syurga:

الْحَجَرُ الأَسْوَدُ مِنَ الْجَنَّةِ وَكَانَ أَشَدَّ بَيَاضاً مِنَ الثَّلْجِ حَتَّى سَوَّدَتْهُ خَطَايَا أَهْلِ الشِّرْكِ

       Hajar aswad adalah batu dari surga. Batu tersebut lebih putih dari salju. Dosa orang-orang musyriklah yang membuatnya menjadi hitam. (HR. Ahmad)

      Melakukan ritual ini harus hati-hati jangan sampai menjadi kemusyrikan, jangan sampai muncul pemikiran menyembah batu. Ada baiknya kita perhatikan ucapan Umar bin Khatab pada saat beliau akan mencium hajar aswad setelah Rasulullah terlebih dahulu menciumnya:

إِنِّى لأُقَبِّلُكَ وَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ وَلَوْلاَ أَنِّى رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُقَبِّلُكَ لَمْ أُقَبِّلْكَ

      Sesungguhnya aku menciummu dan aku tahu bahwa engkau hanyalah batu. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah menciummu, maka tentu aku tidak akan menciummu. (Mutafaq Alaih)

       Kaum muslimin rahimakumullah,

      Semoga kita dapat mengamblil pelajaran dan memetik hikmah makna dari filosofi haji. Semoga saudara saudara kita yang berangkat musim ini untuk menunaikan ibadah haji mendapat predikat haji yang mabrur dan kita yang hadir di sisni dimampukan oleh Allah untuk berhaji pada tahun-tahun yang akan datang.  Insya Allah. Amin

 أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ